Ni Komang wanita tangguh pendamping suku Anak Dalam (SAD)
TEBO-Ni Komang Sri Andayani rasanya sangat pantas menyandang predikat perempuan tangguh. Kawasan Wildlife Conservation Area (WCA) di Tebo, Jambi, yang menjadi habitat hewan liar, sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Nyaris tak ada rasa takut di wajah perempuan berkacamata ini, saat harus menerobos hutan rimba untuk melaksanakan tugasnya sebagai pendamping warga Suku Anak Dalam (SAD) alias Orang Rimba.
Komang, begitu dia akrab disapa, menyadari bahwa risiko pekerjaannya sangat tinggi. Namun, jiwa sosial dan kuatnya keinginan untuk membantu kehidupan Orang Rimba, membuatnya tak terlalu memperdulikan hal itu. Jiwa sosial itu pula yang membuat sarjana Oseanografi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang ini, rela menepis jauh-jauh impiannya untuk menjadi ahli kelautan, sesuai disiplin ilmu yang ditekuninya semasa kuliah.
Tahun ini adalah tahun ketiga baginya menjadi karyawan PT Lestari Asri Jaya (LAJ), perusahaan HTI karet alam berkelanjutan, yang bertugas mendampingi Orang Rimba. Komang mengaku beruntung bisa diterima dan telah menjadi bagian dari keluarga besar Orang Rimba. Sebab, bukan hal mudah baginya untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan baru, terlebih komunitas Orang Rimba sangat tertutup dengan orang luar.
Maklum, Komang yang lahir di Bali, sudah terbiasa berinteraksi dengan pendatang. Hal itu tak lepas dari posisi Bali sebagai destinasi wisata internasional. Hal itu pula yang membuat orang tua dan keluarga Komang, sempat menentang keinginan anaknya merantau ke Jambi. Namun, dengan tekad kuat untuk membantu kehidupan Orang Rimba, Komang akhirnya mendapat restu keluarga.
“Awalnya tidak mudah bagi saya untuk bisa beradaptasi dengan kehidupan Orang Rimba. Terlebih, pekerjaan ini juga menuntut saya untuk tetap waspada saat berada di dalam hutan. Tapi, semua itu saya jalani dengan ikhlas dan semangat, demi membantu kelompok Orang Rimba mendapat kehidupan yang layak,” ujar Komang.
Salah satu kejadian yang masih membekas di ingatannya, adalah tatkala dia tengah mencari bibit tanaman yang berada jauh di dalam hutan, tetiba dia menyadari sekujur tubuhnya telah dipenuhi dengan lintah. Hewan kecil pemakan darah tersebut “dengan semangat” menyedot darah perempuan cantik ini.
“Saya sangat panik, karena saya baru pertamakali mengalami kejadian tersebut. Untunglah ada warga Orang Rimba yang membantu saya, dan saya segera terbebas dari lintah tersebut,” ucapnya.
Pengalaman lain yang turut dikenangnya, tatkala dia menjadi tempat berkeluh-kesah seorang induk (sebutan untuk ‘ibu’ di Orang Rimba), yang sedih karena anak yang baru dilahirkannya meninggal dunia. Padahal, kala itu, Komang baru saja ditugaskan menjadi pendamping orang Rimba. Bahkan, dia baru sekali berkunjung ke Kawasan pemukiman kelompok Orang Rimba. Rasa empati yang dia lakukan ke sang induk, akhirnya membuat keluarga tersebut menganggapnya sebagai saudara.
Menjadi pendamping kelompok Orang Rimba bukanlah perkara gampang. Selain kendala bahasa dan budaya, orang Rimba sangat rentan dimanipulasi dengan isu tertentu oleh pihak yang ingin mengambil untung. Pernah Ketika ditengah kesibukannya mengajari berbagai pelajaran ke anak-anak, serta memberikan panduan tentang cara bercocok tanam dan berladang yang baik, tetiba muncul isu negatif yang menerpa Komang dan tim pendamping lainnya. Entah dari mana munculnya, beredar kabar bahwa menjadi warga binaan malah mendatangkan kerugian bagi kelompok Orang Rimba.
"Sebagian orang Rimba sangat mudah termakan dengan isu negatif. Saya bersama rekan pendamping yang lain, dengan sabar dan telaten memberikan pemahaman kepada mereka, bahwa semua isu itu tidak benar. Kami ini murni kerja sosial, untuk membantu mereka,” ucapnya panjang lebar.
Kini komunitas orang Rimba sudah bisa menerima kehadiran dirinya. Pendekatan personal terbukti ampuh menggandeng mereka untuk dibina dan dibimbing. Bahkan, bisa dibilang, Komang sudah dianggap sebagai bagian dari kelompok Orang Rimba, dan mendapat kepercayaan mereka. Pernah suatu ketika, Komang lupa membawa uang saat melaksanakan tugasnya berkunjung ke pemukiman warga, dia dipinjami uang oleh satu Orang Rimba untuk membeli minuman di warung.
“Awalnya saya ingin berutang ke warung saat membeli minuman. Tapi, si pemilik warung bilang, bahwa minuman saya sudah dibayari seorang warga. Warga itupun bilang, dia meminjamkan uangnya dan bisa dikembalikan setelah saya punya uang,” ujarnya.
Ditengah kesibukannya meningkatkan martabat dan taraf kehidupan warga SAD, Komang mendapat kabar kurang enak dari keluarganya. Industri pariwisata di Bali yang anjlok drastis, gegara terkena imbas pandemi covid-19, membuat ayah dan kakaknya terpaksa berhenti bekerja. Kendati demikian, mereka tidak memaksa Komang untuk mencari pekerjaan lain di kota besar, laiknya impian teman-teman sebayanya. Bahkan, orang tuanya
meminta Komang untuk tetap meneruskan pekerjaannya mendampingi Orang Rimba.
"Bagi saya, menjadi pendamping orang Rimba itu adalah panggilan hati. Memang saya bekerja di LAJ anak perusahaan Royal Lestari Utama (RLU). Tapi tugas pokok saya dan tim adalah membawa Orang Rimba untuk bisa hidup lebih baik, terutama dalam hal bercocok tanam, mendampingi kelompok perempuan Orang Rimba hingga mengelola manajemen di keluarga," tutupnya.(red)